Para pendahulu kita sering menyampaikan
bahwa kemunculan ilmu pengetahuan diawali oleh hasrat ingin tahu manusia
terhadap apa yang ada di sekitar mereka. Hasrat ingin tahu manusia tentang
berbagai hal yang ingin mereka ketahui dari berbagai fenomena di sekitar mereka
inilah yang berkembang menjadi apa yang disebut sebagai ilmu. Munculnya berbagai
disiplin ilmu yang kita kenal selama ini merupakan perkembangan dan pengaruh
dari berbagai penjelasan filsafat dari berbagai fenomena. Keyakinan itu
berkembang hingga memunculkan kesan sekat-sekat disiplin ilmu seperti yang kita
kenal sekarang. Jika kita tinjau lebih dalam lagi, sebenarnya pembatasan yang
terjadi dengan banyaknya disiplin ilmu yang kita kenal selama ini tidaklah
begitu tegas. Berbagai upaya mengurai kesukaran ini sering dilakukan dengan
pembedaan penamaannya, meskipun tidak jarang antara satu dengan yang lainnya
sulit untuk dipisahkan.
Berbagai cabang ilmu yang selama ini
kita kenal sebenarnya berasal dari akar ilmu yang sama. Menurut kacamata
sebagai arkeolog, penulis menyebut hal ini sebagai hubungan silang. Sebagai
contoh adalah keempat ilmu yang tersurat dalam judul tulisan ini. Hubungan
silang budaya yang dialami oleh disiplin arkeologi, antropologi, sejarah, dan
filologi yang dimaksudkan tentunya dalam hal kajian budaya yang merupakan ilmu
tentang manusia (Humaniora). Keempat disiplin ilmu itu memang berakar dari
subyek yang sama, yaitu kebudayaan. Bahkan, ahli Epigrafi, Prof. Boechari,
pernah menyampaikan bahwa ketiga disiplin ilmu itu (minus Antropologi)
merupakan ilmu-ilmu serumpun. Tidak jarang dalam kajian ilmu arkeologi, misalnya, sering digunakan
pendekatan-pendakatan filologi atau antropologi yang muaranya menghasilkan
gagasan atau uraian yang berciri historiografi sejarah.
Tidak jarang pula di berbagai tempat
dalam model pembelajarannya di perguruan tinggi, ada beberapa disiplin yang
kita kenal dijadikan dalam satu departemen. Hal ini menunjukkan bahwa kedua
disiplin itu saling bersilang dalam kajiannya. Seperti di Amerika Serikat,
arkeologi merupakan bagian dari departemen atau fakultas antropologi pada
berbagai Universitasnya. Dalam antropologi, disiplin arkeologi digolongkan
sebagai bagian dari kajian ilmu Antropologi, terutama dalam kajian masa
prasejarah (prehistory) atau prasejarah di Amerika Serikat. Anggapan ini tidak
lepas dari perkembangan ilmu antropologi di negara itu, William A. Haviland
dari University of Vermont menegaskan fenomena ini dalam salah satu bukunya,
bahwa disiplin antropologi dibagi menjadi empat cabang, yaitu antropologi
fisik, dan ketiga cabang antropologi budaya yang antara lain terdiri atas
arkeologi, linguistik, dan etnologi (Haviland, 1990:12).
Prof. Koentjaraningrat dalam Pengantar
Ilmu Antropologi (edisi revisi 2009) juga menegaskan dalam bab pengertian
khusus ilmu antropologi, mengenai ilmu-ilmu yang merupakan bagian dari
antropologi. Beliau menegaskan bahwa hubungan antara antropologi dengan
arkeologi dan filologi (yang diwakili oleh kajian etnolinguistik) memiliki
kaitan dan hubungan yang sangat dekat. Sepertinya paradigma ini mengikuti
paradigma perkembangan ilmu antropologi yang juga tergolong ilmu baru yang
berkembang pesat di Amerika. Bagian dari antropologi yang berhubungan dengan
arkeologi sama seperti pembagian yang ada di Amerika Serikat, yaitu bahwa
prasejarah atau prehistory menjadi cabang dari kajian antropologi budaya. Dalam
konteks ini Prehistory digunakan untuk mempelajari sejarah perkembangan dan
penyebaran semua kebudayaan sebelum manusia mengenal tulisan (Koentjaraningrat,
2009: 12), pengetahuan prasejarah berguna dalam penjelasan etnologi dalam
antropologi untuk mengetahui akar kebudayaan suatu masyarakat secara diakronik,
karena antropologi dalam etnologi mencoba menjelaskan unsur-unsur kebudayaan
masa sekarang pada kehidupan manusia. Hal itu sesuai dengan paradigma atau
fungsi dari kajian arkeologi yang secara khusus menghasilkan gambaran sejarah
budaya manusia (lihat: Sharer&Ashmore, 2003: 66-93).
Penjelasan sejarah perkembangan budaya
secara descriptive integration selain menggunakan data artefak juga menggunakan
data etnolinguistik (bahan dari bahasa lokal). Semua data itu termasuk data
etnologi diolah menjadi satu untuk menghasilkan sejarah perkembangan kebudayaan
dari suatu masyarakat, artinya mencoba memandang dari sisi diakronisnya
(antarmasa dan budaya) juga (Koentjaraningrat, 2009: 14). Lebih lanjut Prof.
Koentjaraningrat memberikan contoh pada penelitian kebudayaan suku bangsa Ngada
di Flores Tengah yang melihat bukti atau data fosil dan artefak yang menjadi
kapasitas ahli arkeologi untuk menafsirkan bentuk kebudayaan manusia Ngada pada
masa lalu. Tidak lain, hal ini digunakan untuk mengetahui sejarah perkembangan
atau sejarah budaya Ngada.
Untuk di Jawa, ilmu arkeologi yang
meneliti setidaknya masa kerajaan pada abad ke-7- 15 Masehi bisa diterapkan
untuk mengkaji secara etnologi kebudayaan masyarakat Jawa pada masa kini.
Unsur-unsur dari perkembangan budaya masyarakat Jawa masa sekarang tidak dapat
dilepaskan dari perkembangannya pada masa pengaruh Hindu-Buddha pada rentang
antara abad ke-7-sekitar awal 15 M. Telah kita ketahui bersama, bahwa
kebudayaan Jawa pada masa sekarang merupakan bentuk perkembangan dari berbagai
pengaruh budaya yang pernah masuk ke pulau Jawa, itu terjadi pada masa lampau.
Tercatat kebudayaan-kebudayaan besar
seperti India, Arab, Cina hingga bangsa-bangsa Barat memberikan andil dalam
bentuk kebudayaan masyarakat Jawa pada masa sekarang. Pengaruh budaya dari
berbagai bangsa itu telah merasuki semua aspek kebudayaan termasuk agama,
pranata sosial sampai pada bentuk kesenian yang bercampur dengan kebudayaan
asli Jawa. Buku terkenal dari Dennys Lombard yang berjuluk Nusa Jawa Silang
Budaya menguraikan secara jelas gambaran pengaruh yang terjadi di bumi Jawa dan
kebudayaannya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika antropologi tidak
mempunyai kapasitas untuk mengetahui gambaran luas mengenai fenomena ini.
Juga dalam arkeologi, pengaruh kajian ilmu
antropologi telah membentuk sebuah pendekatan khusus, yaitu sebuah penelitian
yang disebut sebagai aliran etnoarkeologi. Penelitian etnoarkeologi ini mencoba
melihat data arkeologi yang merupakan budaya materi (benda) yang telah terlepas
dari konteks sistem budayanya, sering kali terjadi kesulitan untuk menafsirkan
aspek budaya ide dan perilaku pada data arkeologi tersebut. Melalui kajian
etnoarkeologi, persoalan ini berhasil diatasi dengan mengamati kebudayaan masa
sekarang (kurang lebih disebut dengan etnologi) untuk menjelaskannya. Telah
banyak penelitian terdahulu yang menggunakan metode seperti ini, misalnya yang
terjadi pada data arkeologi Nekara yang sulit sekali untuk dijelaskan secara
arkeologis. Paling maksimal hanya penjelasan secara deskriptif. Melalui kajian
etnologi pada berbagai suku bangsa di NTT dan Pulau Rote, termasuk Pulau Kei,
penjelasan mengenai fungsi artefak Nekara ini dapat diterima oleh para
arkeolog. Sampai sekarang beberapa suku bangsa tersebut menggunakan Nekara yang
diyakini sebagai hasil budaya perunggu Dong Son (Vietnam) sebagai media upacara
sakral untuk memanggil hujan. Ada juga yang masih menggunakannya sebagai mas
kawin. Berdasarkan data etno tersebut dapat ditafsirkan bahwa fungsi Nekara
pada masa lalu juga tidak jauh dari fungsinya pada masa sekarang. Keyakinan ini
tidak lain diperkuat dengan bagaimana masyarakat suku bangsa di NTT pada masa
sekarang menggunakannya. Melalui beberapa penjelasan di atas, jelas bahwa
hubungan silang dalam kajian budaya antar kedua disiplin ilmu ini sangat
dekat bahkan saling membutuhkan dan
saling melengkapi. Tentunya lebih banyak lagi saling silang di antara kedua
disiplin tersebut, terutama dalam penggunaan metode atau cara-caranya dalam
melihat sebuah kasus-kasus kebudayaan.
Hubungan unik juga terjadi antara
arkeologi dan sejarah. Sebagai sama-sama disiplin yang memusatkan perhatiannya
terhadap masa lalu, kedua kajian ini hanya berbeda pada obyek data yang
digunakan. Sejarah melihat peristiwa yang terjadi pada masa lampau berdasarkan
bukti tertulis. Selama ada bukti tertulis dari masa lampau, sejarah dapat
menyusun informasi dari sebuah peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Sedangkan arkeologi menggunakan data hasil budaya bendawi (materi) untuk
menafsirkan kejadian yang terjadi pada masa lampau. Selain itu arkeologi juga
dapat menghasilkan rekonstruksi kehidupan manusia masa lampau sampai pada
tahapan sejarah budaya atau perkembangan budaya yang terjadi pada sebuah
masyarakat (Sharer&Ashmore, 1992: 15-16).
Gagasan menarik mengenai hubungan antara
arkeologi dan sejarah pernah disampaikan oleh Montana (1989) dalam artikelnya
pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) V di Yogyakarta. Beliau menyampaikan
bahwa sejarah yang berfokus pada data tertulis dan dokumen yang berasal dari
masa lampau untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi di masa lampau hanya
memiliki 1% dari porsi kejadian yang
terjadi di masa lampau. Itu artinya hanya sedikit saja dari masa lampau manusia
yang dapat dipelajari melalui data atau dokumen tertulis. Lebih lanjut, selebihnya yaitu 99% dari masa lampau itu
tidak meninggalkan catatan, itu diluar batasan kajian sejarah (Fish, 1978: 187
dalam Montana, 1989: 194). Beliau menambahkan bahwa porsi yang lebih banyak
tersebut tercakup dalam kajian arkeologi, termasuk dalam prosentase yang 1% itu
dapat dikatakan bahwa “lahan” masa lalu sejarah telah digarap dalam kajian
arkeologi. Di sinilah terjadi percampuran (jumbuh) antara kajian arkeologi dan
sejarah.
Arkeologi melakukan kajian terhadap
tinggalan hasil budaya bendawi manusia yang dimulai dari mencari data hingga
menafsirkannya. Pencarian data arkeologi yang berupa hasil budaya bendawi ini
dilakukan dengan melakukan survei arkeologi dan melakukan penggalian
(ekskavasi) arkeologi. Metode ekskavasi inilah yang tidak dimiliki oleh
disiplin lain, termasuk sejarah, antropologi maupun filologi. Meskipun dalam
cabang kajian antropologi fisik, memungkinkan dilakukannya penggalian tetapi
hal ini membutuhkan keterampilan atau kapasitas yang berbeda, domain yang
dicakup bisa luas, seperti menggunakan seorang ahli paleoantropologi. Meskipun
begitu hal tersebut bukan merupakan kajian antropologi murni. Kembali lagi pada
langkah kerja arkeologi, setelah memperoleh data dari hasil pencarian,
arkeologi juga melakukan tafsiran atau analisis yang menghasilkan informasi
mengenai peristiwa masa lampau. Sebenarnya tahapan melakukan tafsir ini sudah masuk
dalam ranah ilmu sejarah.
Tidak dipungkiri bahwa buku Sejarah
Nasional Indonesia yang sangat akrab sekali dengan kita, dalam kajian mengenai
sejarah kuno atau masa Hindu-Buddha disusun
oleh bukan ahli sejarah. Prof. Boechari mengatakan bahwa dalam buku
tersebut, penulisan sejarah kuno dilakukan oleh para arkeolog dan ahli epigrafi
yang berpretensi menjadi sejarawan (Boechari, 1978: 6). Hal ini terjadi karena
bukti yang digunakan untuk menyusun informasi mengenai sejarah kuno merupakan
bukti-bukti arkeologi yang dapat ditemukan kembali pada masa kini. Meskipun ada
juga bukti tertulis prasasti dan naskah sastra masa lalu yang seharusnya
menjadi kajian ilmu sejarah, entah kenapa telah menjadi objek kajian para
arkeolog juga. Mungkin karena prasasti yang ditulis pada batu atau logam itu
dipandang sebagai artefak yang termasuk hasil budaya bendawi manusia (lihat:
Kusumohartono, 1994: 17). Fenomena ini menjadi sebuah fakta yang menarik
terkait studi masa lampau di Indonesia.
Telah disebutkan pada paragraf
sebelumnya bahwa arkeologi dalam kajian masa lampau melakukan kerja pencarian
terhadap data kajiannya. Di sinilah antara lain ilmu sejarah berguna untuk arkeologi.
Para arkeolog sebelum melakukan kajian terhadap sebuah wilayah sering kali
melakukan pencarian data yang sering disebut sebagai studi literatur. Pada
tahapan ini para arkeolog melakukan pencarian dan pengkajian terhadap dokumen
dan naskah-naskah sejarah terkait obyek atau wilayah yang akan diteliti
seolah-olah sebagai seorang sejarawan. Terkait hal ini, Carl Russel Fish dalam
Relation of Archaeology and History (1978) mengatakan bahwa setiap sejarawan
seyogyanya adalah seorang arkeolog, dan setiap arkeolog seyogyanya mengetahui
segala sesuatu terkait kerja sejarawan.
Kerja sejarawan seperti itu juga sering
dilakukan oleh para antropolog. Karena latar belakang sejarah menjadi sesuatu
yang penting untuk digunakan dalam mengetahui gambaran umum wilayah budaya.
Terlebih, dalam beberapa laporan-laporan penelitian, pengetahuan dasar mengenai
sejarah sebuah wilayah selalu diungkap terlebih dahulu. Demikian juga dalam
studi filologi yang disebut sebagai knowledge of known, penulis susah sekali
mencari arti kalimat ini dalam bahasa Indonesia. Istilah tersebut disebutkan
dalam Encyclopedia und Metodologie der Philologischen (Montana, 1989: 196).
Yang dimaksud dengan knowledge of known dalam filologi itu kurang lebih dapat
dijelaskan seperti ini: filologi yang mengkaji salah satu bentuk data masa
lampau yaitu naskah dan teks sastra mau tidak mau menemui berbagai informasi
mengenai budaya masa lampau dimana naskah atau teks tersebut dibuat. Informasi
mengenai masa lampau dalam naskah atau teks umunya berupa bahasa, adat
istiadat, seni, politik, religi, kehidupan masyarakat, dll. Hal tersebut
menuntut seorang ahli filologi untuk mengetahui berbagai pengetahuan yang
sangat beragam itu.
Sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, filologi merupakan sebuah ilmu yang mempunyai obyek kajian pada naskah
dan teks klasik. Filologi dalam kajiannya berusaha mengungkapkan hasil budaya
suatu masyarakat (bangsa) melalui kajian bahasa pada peninggalan berbentuk
tulisan. Berita tentang hasil budaya yang diungkapkan oleh teks klasik dapat
dibaca dalam peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan yang disebut naskah
(Baried, et. al., 1985: 4). Kajian filologi merupakan kajian yang jarang sekali
dilakukan di Indonesia karena dianggap sebagai ilmu yang sukar dan membutuhkan
keuletan untuk melakukan. Jangankan untuk menggelutinya, melakukannya saja
sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Tetapi untuk beberapa tahun terakhir
ini muncul banyak peneliti muda yang tertarik untuk menggeluti filologi.
Sebagai salah satu kajian budaya,
filologi memberikan banyak data menarik terkait masa lampau dalam kehidupan
manusia yang mencakup banyak aspek mengenai kehidupan manusia. Misalnya dalam
bidang sosial, politik, ekonomi, agama, bahasa, dan sastra. Menurut Baroroh
Baried, dkk dalam Pengantar Teori Filologi (1985), filologi apabila dilihat
dari sisi pengungkapannya dapat dikatakan bahwa kebanyakan isinya mengacu
kepada sifat-sifat historis, didaktis, religius, dan belletri. Jika kita
memahami kalimat itu, antara ilmu filologi dengan disiplin ilmu budaya lain
yang telah banyak disebutkan dalam tulisan ini memiliki hubungan yang sangat
dekat. Dari sisi antropologi yang melihat dari kacamata bentuk budaya gagasan
dan perilaku manusia, filologi dikatakan mampu menyumbangkan informasi mengenai
bayangan fikiran atau gagasan manusia, termasuk norma yang berlaku pada masa
lampau yang tercermin dari kandungan isi naskah maupun teks klasik.
Lebih lanjut, dalam penggarapan naskah
filologi tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat dan budaya yang membuat
atau yang melahirkannya (Baried, et. al., 1985: 19). Untuk itulah dalam kajian
mengenai tanggapan masyarakat terhadap keberadaan naskah pada masa kini dapat
memanfaatkan kajian antropologi. Biasanya keberadaan naskah karya sastra di
tengah masyarakat yang masih menyimpan dan mempergunakannya dianggap sebagai
benda keramat, dihormati dan suci sehingga perlakuannya sangat khusus. Beberapa
naskah-naskah kuno yang disimpan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta yang
sampai sekarang masih dianggap benda pusaka yang sakral, secara berkala
ditaruhlah sesajen di dekat naskah tersebut. Kasus-kasus mengenai fenomena
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan atau bekal pengetahuan dari
antropologi.
Hubungan silang sesama kajian budaya
antara filologi dengan sejarah juga sangat dekat. Banyak naskah karya sastra
klasik yang telah digunakan sebagai data sejarah seperti Nagarakrtagama,
Pararaton, Hikayat Raja-Raja Pasai, dll. Beberapa naskah terlebih dulu harus
dikaji dalam filologi melalui metode kritik teks, satu-satunya metode yang
dimiliki oleh disiplin pengkaji naskah dan teks kuno ini, yang mencari bentuk
asli dari beberapa edisi naskah maupun teks yang biasanya banyak terjadi.
Setelah melalui screening oleh metode kritik teks tersebut, naskah yang
dimaksud dapat digunakan sebagai data sejarah maupun data pembanding untuk
bukti-bukti sejarah atau arkeologi seperti artefak, berita asing, prasasti,
dll. Demikian sebaliknya, informasi yang didapat oleh para filolog dari naskah
klasik tentu berkonteks dengan masyarakat pembuatnya, disini ilmu arkeologi dan
sejarah dapat digunakan hasil-hasil dari kajiannya untuk para filolog. Terutama
dalam sejarah budaya, untuk di Indonesia, beragamnya naskah dengan berbagai
pengaruh budaya yang terjadi dalam periode yang panjang menuntut pengetahuan
tentang sejarah budaya dalam mengkaji berbagai naskah Nusantara.
Berdasarkan dari uraian sekilas pada
paragraf-paragraf di atas, hal yang dapat diambil ialah keempat disiplin ilmu
yang sama-sama mengkaji tentang budaya manusia (humaniora) ini memiliki
hubungan yang sangat dekat. Antar satu dengan yang lainnya bahkan memiliki
keterkaitan dan hubungan timbal balik. Istilah hubungan silang yang dipilih
dalam kalimat judul tulisan ini agaknya sedikit memuaskan jika bermaksud
menggambarkan hubungan antara satu disiplin dengan disiplin yang lainnya yang
memang memiliki kesan hubungan yang saling membutuhkan. Karena itu, sebagai
penutup, penulis menyitir kalimat Prof. Boechari (1978) terkait konteks
hubungan arkeologi dan sejarah, tetapi dalam konteks ini dihubungkan dengan
keempat disiplin ilmu yang dibahas dalam tulisan ini.
“Sudah
semestinya dalam kajian budaya dalam konteks sekarang maupun masa lampau, para
ahli dari keempat disiplin ilmu ini dapat bekerja sama untuk masing-masing
saling melengkapi”.
Sumber: Yogi Pradana