Taksonomi
Ordo
Entomophthorales termasuk ke dalam kelas Zygomycetses yang terdiri atas 5
famili, yaitu Ancylistaceae, Completoriaceae, Entomophthoraceae, Meristacraceae,
dan Neozygitaceae. Kelima famili tersebut merupakan patogen serangga,
diantaranya adalah Ancylistaceae (Conidiobolus),
Entomophthoraceae (12 genus) dan Neozygitaceae (dua genus) (Keller &
Petrini 2005). Hanya satu jenis entomopatogenik, Meristacrum milkoi Dudka & Koval yang merupakan patogen larva
Tabanidae (Diptera) dan termasuk ke dalam famili Meristacraceae. Spesies dari
famili Completoriaceae telah diketahui bersifat parasit obligat intraselular.
Akan tetapi, urutan taksonomi dari famili ini belum diketahui secara pasti
(Humber 1989).
Pada
Januari 2006, sebanyak 223 jenis cendawan Entomophthorales telah berhasil
diidentifikasi. Sekitar 195 jenis diantaranya termasuk ke dalam famili Entomophthoraceae,
17 jenis termasuk ke dalam famili Neozygitaceae dan 10 jenis termasuk ke dalam
famili Ancylistaceae yang salah satunya adalah genus Conidiobolus dan bersifat saprofitik. Sebanyak 185 jenis cendawan
telah diidentifikasi ke dalam genus. Sedangkan sisanya sekitar 38 jenis telah
diketahui hanya dalam stadia resting
spore yang merupakan anggota dari genus Tarichium.
Genus ini termasuk ke dalam famili Entomophthoraceae, walaupun terdapat jenis cendawan
lain yang tergolong ke dalam famili berbeda. Oleh karena itu, tidak menutup
kemungkinan bahwa akan lebih banyak jenis dari kelompok cendawan penting lain
yang akan diidentifikasi selanjutnya (Humber 1989).
Bagian
terpenting dari cendawan Entomophthorales adalah kemampuannya dalam menyebabkan
epizootics (menginfeksi banyak hewan
atau serangga pada suatu daerah dalam waktu bersamaan secara cepat) dan
mengurangi populasi serangga pada inang dalam waktu yang singkat. Oleh karena
itu, jenis cendawan ini sangat penting sebagai musuh alami dan efisien dalam
mengendalikan serangga yang menyerang tanaman inang. Fakta yang ada menyebutkan
bahwa sekitar 70 jenis cendawan telah dilaporkan menjadi musuh alami pada
serangga hama dan tungau (Humber 1989).
Serangga
yang diinfeksi oleh cendawan Entomophthorales biasanya mati pada tempat yang
mendukung, misalnya pada bagian atas tanaman atau dinding tanaman. Serangga
yang hidupnya berkelompok seperti kutu daun dan tungau secara normal tinggal di
dalam koloni. Apabila cendawan tidak berada dalam fase sporulasi, maka tidak
atau hampir tidak ada tanda dari cendawan yang terlihat dan cendawan tidak
dengan mudah dikenali sebagai musuh alami (Humber 1989).
Ekologi
Ketertarikan
peneliti terhadap cendawan Entomophthorales dalam perannya sebagai musuh alami
semakin meningkat seiring dengan kemampuannya dalam mengendalikan hama. Banyak
penelitian yang telah dilakukan dengan konservasi pengendalian secara biologi
dari kutu daun. Populasi kutu daun dapat dikendalikan oleh musuh alami.
Masing-masing musuh alami akan menyerang jenis kutu daun yang spesifik. Setelah
itu, cendawan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menginfeksi kembali
populasi kutu daun yang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan populasi cendawan Entomophthorales
dalam jumlah banyak dalam rangka mengendalikan populasi kutu daun yang
perkembangannya jauh lebih cepat dibandingkan populasi cendawan. Populasi kutu
daun akan meledak pada saat musim panas sehingga dapat mengakibatkan kehilangan
hasil yang cukup besar (Hani, Boller & Keller 1998).
Biologi
Kutu
putih pepaya yang diinfeksi oleh cendawan Entomophthorales dapat diklasifikasi
ke dalam satu dari enam kategori stadia menurut Steinkraus, Geden & Rutz
(1995): (1) sehat, (2) secondary conidia
(konidia sekunder) yang menyerang tungkai, antena, atau tubuh kutu putih
pepaya, (3) hyphal bodies (badan hifa),
(4) konidiofor dan primary conidia (konidia
primer), (5) resting spores (spora
istirahat), dan (6) saprophytic fungi
(cendawan saprofit).
 |
Gambar 1 Identifikasi stadia cendawan patogen serangga (Steinkraus et al. 1995)
(a)Oliarus
dimidiatus dewasa sehat, (b) Cendawan Pandora sp.
menginfeksi
O. dimidiatus, (c) Primary conidia, (d) Bitunicate
conidia
dengan
lapisan dinding luar terpisah dan secondary conidia
(tanda
panah), (e) Cystidia (tanda panah) dan (f) Hyphal bodies.
|
Kutu
putih pepaya dikatakan sehat apabila tidak ditemukan cendawan yang menginfeksi
kutu putih pepaya tersebut. Sementara itu, stadia secondary conidia (konidia
sekunder) mempunyai jenis, bentuk, dan ukuran yang spesifik. Jenis dan bentuk
konidia sekunder merupakan kriteria penting dalam mengidentifikasi cendawan
Entomophthorales. Konidia sekunder biasanya dihasilkan dari arah samping
konidia primer. Ukurannya tebal, ada yang panjang dan pendek, serta mempunyai
bentuk kapiler yang langsing. Genus Neozygites memiliki konidia sekunder
yang pada bagian ujungnya membentuk tekukan yang tajam di depan capilliconidium
(Keller & Eilenberg 1993)
.
Menurut
Ben-Ze’ev dan Kenneth (1982), secondary conidia dibagi ke dalam lima
tipe. Tipe I, secondary conidia dihasilkan satu per satu kemudian dikeluarkan,
biasanya dari perkembangan yang pendek selanjutnya akan muncul di atas konidia
primer. Tipe ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu Tipe Ia mempunyai bentuk yang
hampir sama dengan konidia primer. Tipe ini merupakan tipe normal yang dimiliki
oleh hampir semua jenis cendawan Entomophthorales. Sementara itu, Tipe Ib
mempunyai bentuk yang berbeda dengan konidia primer. Tipe ini dimiliki oleh Erynia,
Furia, Pandora, dan beberapa jenis Entomophaga (Keller & Eilenberg
1993). Secondary conidia pada Tipe II disebut capilliconidia. Capilliconidia
dihasilkan secara satu per satu, berukuran panjang, dan mempunyai tabung
kapiler langsing yang muncul pada konidia primer. Capilliconidia dilepaskan
secara pasif. Tipe ini ditemukan pada Zoophthora, Neozygites, Orthomyces,
dan Eryniopsis lampyridarum.
Secondary
conidia pada Tipe III dikenal dengan nama microconidia.
Microconidia menghasilkan satu dari banyak perkembangan pipa tubular
yang muncul dari konidia primer, bentuknya menyerupai konidia primer tetapi
lebih kecil. Tipe ini banyak ditemukan pada beberapa jenis Conidiobolus. Tipe
IV disebut dengan nama microspores. Tipe ini tidak ditemukan pada jenis
cendawan entomopatogen. Tipe terakhir merupakan Tipe V yang dikenal dengan
istilah aquatic secondary conidia, tetra-radiate propagules, tetra-radiate
conidia, branched, stellate atau coronate conidia (Descals
& Webster 1984). Secondary conidia ini dihasilkan di dalam
air atau yang kontak dengan air. Sebagian besar ditemukan pada beberapa jenis Erynia
yang berasosiasi dengan air.
Stadia
hyphal bodies hampir ditemukan pada semua spesies cendawan Entomophthorales.
Stadia ini merupakan fase perkembangan vegetatif. Hyphal bodies berkembang
dari protoplas dan merupakan proses awal yang terjadi pada inang yang
terinfeksi. Dinding sel akan mengekspresikan hyphal bodies ke dalam berbagai
bentuk yang spesifik. Bentuk yang spesifik menjadikan hyphal bodies sebagai
suatu ciri penting dalam penggolongan cendawan (Keller 1987).
Stadia konidiofor dan primary conidia (konidia
primer) secara aktif dihasilkan pada bagian ujung konidiofor. Primary
conidia dihasilkan pada konidiofor tidak bercabang yang mengandung dua atau
lebih nukleus, sedangkan yang dihasilkan pada konidiofor bercabang mengandung
satu nukleus. Bentuk dan ukuran primary conidia merupakan kriteria
penting dalam identifikasi jenis cendawan Entomophthorales. Konidia famili
Neozygitaceae tidak mempunyai membran luar. Membran luar famili Neozygitaceae
akan membentuk suatu lingkaran (halo) di sekitar konidia (Eilenberg,
Bresciani & Latge 1986). Nukleus pada konidia famili Neozygitaceae hanya
dapat dihitung ketika jumlahnya sedikit, cara lain adalah penghitungan
dilakukan pada konidiofor untuk mengurangi kesalahan (Keller 1987).
Stadia
resting spores merupakan struktur dinding berukuran tebal yang berfungsi
untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan. Resting spores dibentuk
secara aseksual dari suatu hyphal body (azygospores) atau secara seksual
dari konjugasi dua hyphal bodies (zygospores). Kebanyakan bentuk resting
spores adalah bola dan hialin, beberapa ada yang dikelilingi oleh episporium.
Stadia resting spores secara spesifik hanya dapat ditemukan pada Neozygites.
Resting spores pada Neozygites berwarna coklat gelap menuju
hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua asam
nukleat. Resting spores tidak cepat menyebar (Keller 1987).
Stadia
ini berkecambah dengan menggunakan tabung benih tunggal di mana benih tunggal
konidia dibentuk. Pada beberapa jenis cendawan Entomophthorales, resting
spores atau konidia yang dihasilkan sangat tergantung pada stadia serangga
inang yang diinfeksi. Jika menginfeksi serangga muda, maka akan menghasilkan
konidia primer. Sedangkan apabila menginfeksi serangga yang lebih tua, maka
yang dihasilkan adalah resting spores. Konidia dari cendawan Entomophthorales
umumnya menyebar secara aktif, berbeda dengan Ascomycetes yang menyebar secara
pasif. Apabila sebuah konidia melakukan kontak dengan serangga inang, maka akan
terbentuk tabung kecambah (germ tube). Setelah itu, cendawan akan
melakukan invasi pada hemosol serangga dan terjadilah infeksi (Keller 1987).
Apabila
konidia yang dikeluarkan tidak jatuh pada inang yang khas, maka akan terbentuk
konidia sekunder. Beberapa spesies akan membentuk capilliconidia jika
konidia primer jatuh pada substrat selain inang yang khas. Resting spores akan
dihasilkan ketika serangga inang mati. Resting spores yang dihasilkan
berfungsi agar cendawan tetap bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan, terutama pada suhu yang ekstrim. Stadia terakhir dalam
identifikasi cendawan Entomophthorales adalah saprophytic fungi. Saprophytic
fungi akan muncul setelah kutu putih mati atau busuk (Keller 1987).