Gambar 1 . Jumlah marga endemik tumbuhan berbunga
di
berbagai pulau dan kepulauan Malesia
Dari
sudut geografi tumbuhan, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia,
Papua Nugini, Singapura dan Timor Leste membentuk sebuah kawasan floristik yang
koheren, yang disebut Malesia (Steenis 1950). Flora Malesia
sangat berbeda dari flora kawasan sekitarnya di Asia Tenggara, Pasifik dan
Australia. Malesia merupakan kawasan fitogeografi yang khas, yang 40 % dari
marga yang dikandungnya tidak terdapat di luar kawasan ini. Kawasan Malesia
dapat dibagi lagi menjadi provinsi fitogeografi yang lebih kecil, yaitu
provinsi (1) Malesia Barat, yang mencakup Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera,
Pulau Borneo dan pulau-pulau di Filipina; (2) Malesia Timur, yang meliputi
Pulau Sulawesi, Pulau-pulau di Maluku, dan Pulau Nugini; dan (3) Malesia Selatan,
yang terdiri dari Pulau Jawa dan Madura, Pulau Bali, pulaupulau di Nusa
Tenggara, termasuk Timor Leste.
Provinsi
selatan dan sebagian kawasan antara Provinsi barat dan timur bertepatan dengan
kawasan yang beriklim relatif kering dengan vegetasi utamanya berupa tipe hutan
muson dan savana, sedangkan provinsi barat dan timur beriklim basah dengan tipe
hutan utama hutan hujan. Batas antara provinsi barat dan provinsi timur
bertepatan dengan Garis Wallace yang membentang dari Selat Lombok ke utara sepanjang
Selat Makasar sampai ke selat antara Sulawesi dan Filipina. Di provinsi barat
lebih kaya kandungan spesiesnya dan lebih kompleks strukturnya daripada hutan
di provinsi timur. Beberapa kelompok tumbuhan memang berpusat di sebelah barat
atau timur Garis Wallace (Whitmore 1986). Jenis-jenis rotan (Arecaceae, anak-suku
Lepidocaryoideae), Pinus merkusii, Artocarpus (seksi Duricarpus),
Altingia excelsa, Schima wallichii dan sebagian besar jenis-jenis
Dipterocarpaceae berpusat di provinsi barat. Jenis-jenis yang berpusat di
provinsi timur dan tidak menyeberangi Garis Wallace di antaranya adalah Araucaria
spp., Koordersiodendron spp., Elmerillia spp., Nothofagus spp.,
dsb.
Dalam
Gambar 5 tampak bahwa flora secara keseluruhan di propinsi barat lebih banyak
memiliki marga tumbuhan berbunga (150) yang endemik daripada di provinsi timur
(132), sedangkan di provinsi selatan hanya terdapat 14 marga endemik (Steenis
1950). Sangat menarik dan sangat penting diketahui untuk pelestarian bahwa dari
132 marga endemik di provinsi timur, 124 terdapat di Nugini.
Di provinsi barat
jenis-jenis Dipterocarpaceae merajai hutan-hutan pada 0 – 1300 m dpl di
Kalimantan, Semenanjung Malaya dan Sumatra. Dari 386 spesies yang terdapat di kawasan Malesia, 373
terdapat di provinsi barat (Gambar 6) di sebelah barat Garis Wallace, termasuk
jenis-jenis keruing (Dipterocarpus) kapur (Dryobalanops) dan
meranti (Shorea), yang merupakan jenis-jenis kayu utama yang selama dua
dasawarsa terakhir ini telah banyak dieksploitasi dan menjadi komoditi ekspor
penting. Di provinsi timur hanya terdapat 29 spesies dari marga Anisoptera,
Hopea, Shorea dan Vatica. Di provinsi ini Pometia pinnata,
Agathis dammara, Agathis labillardiere, Agathis robusta, Araucaria
beccarii, Araucaria cunninghamii dan Araucaria hunsteinii lebih
mencolok daripada Dipterocarpaceae.
Flora Malesia sangat
kaya dan ditaksir terdiri atas 40.000 spesies tumbuhan berbunga, yang sebagian
besar terdapat di Indonesia, yaitu sekitar 30.000 spesies. Jumlah ini sama
dengan 10 % flora dunia. Sekitar 40 % marga di Malesia adalah endemik dan
persentase untuk spesies lebih besar lagi. Suku terbesar adalah Orchidaceae
yang diperkirakan mempunyai 3.000 – 4.000 spesies. Di antara tumbuhan berkayu
Dipterocarpaceae adalah salah satu suku besar dengan jumlah spesies sebanyak
386 (Ashton 1982). Marga-marga besar tumbuhan berbunga di antaranya adalah Eugenia
(Myrtaceae) yang mengandung sekitar 500 spesies (Whitmore 1986), marga Ficus
(Moraceae) yang mencakup 735 spesies (Berg & Corner 2005), dua marga
dari Ericaceae yaitu Rhododendron 287 spsies dan Vaccinium 239
spesies (Sleumer 1966), dsb.
Kekayaan flora yang
besar di Indonesia antara lain merupakan akibat dari struktur vegetasi yang kompleks.
Pohon-pohon tinggi berfungsi sebagai kerangka menciptakan lingkungan yang
memungkinkan berbagai jenis tumbuhan lain dari lumut sampai pohon kecil tumbuh
di bawahnya (Whitmore 1986).
Dari uraian singkat
tadi terlihat bahwa kawasan di sebelah barat dan sebelah timur Garis Wallace
mempunyai kekhasan masing-masing. Struktur populasi, sifat ekologi reproduksi,
pola penyebaran, dan regenerasi spesies; struktur, komposisi dan dominansi
spesies dalam komunitas, dan faktor-faktor ekologi yang memengaruhi, semuanya
sangat berbeda di dua kawasan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya, seperti
pembalakan hutan, dan penanggulangan efeknya, rehabilitasi ekosistem yang rusak
dan reboisasi (khususnya penggunaan jenis tumbuhan untuk maksud tersebut),
pelestarian ekosistem dan kandungan floranya, dan pengembangan secara
keseluruhan di kedua sisi Garis Wallace dan kawasan Wallacea tentu tidak dapat
dilaksanakan dengan strategi yang sama. Kekhasan masing-masing kawasan, khususnya
segi-segi yang disebut tadi, serta variabilitas yang terdapat di dalam
masing-masing kawasan harus diperhitungkan dalam penyusunan strategi tersebut.